Rumah Kelahiran Buya Hamka
Menapak Peninggalan Sang Ulama Besar
Plakat penghargaan atas jasa-jasa Buya Hamka terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia
Di bagian depan ruangan utama, tersimpat sejumlah dokumentasi foto dari sang Ulama
Di rumah inilah sang ulama besar lahir, kini tempat ini difungsikan sebagai penyimpanan memorabilianya semasa hidup Buya Hamka semasa hidupnya dikenal sebagai sastrawan, jurnalis, ahli tafsir sekaligus politisi berpendirian kuat Plakat penghargaan atas jasa-jasa Buya Hamka terhadap perjuangan kemerdekaan Republik IndonesiaRumah ini terletak di tepi Danau Maninjau, tepatnya Kampung Muaro Pauh, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten AgamDi dalam museum ini tersimpan sekitar 28 dari 118 judul buku yang ditulis Hamka semasa hidupnya.
Dokumentasi foto lautan manusia yang mengantarkan sang ulama besar ke peristirahatan terakhirnyaDi kamar inilah dahulu Buya Hamka dilahirkan, kini pengunjung dapat menunaikan shalat di ruangan iniDi bagian depan ruangan utama, tersimpat sejumlah dokumentasi foto dari sang Ulama
Perjalanan ke Danau Maninjau rasanya tidak lengkap tanpa menyambangi rumah kelahiran seorang ulama besar asal Minangkabau, Buya Hamka. Rumah bersejarah ini berada di tepian danau, tepatnya di Kampung Muaro Pauh, Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Agam.
Lokasi yang kini difungsikan sebagai museum ini menjadi tempat penyimpanan benda-benda peninggalan tokoh yang juga dikenal sebagai sastrawan, jurnalis, ahli tafsir, sekaligus seorang politisi ini. Di sini pengunjung bisa meresapi semangat perjuangan yang pernah digemakan sang ulama nasionalis ini semasa hidupnya.
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal luas dengan nama Buya Hamka lahir pada hari Senin, 17 Februari 1908. Anak tertua dari tujuh bersaudara ini lahir di tengah keluarga yang kuat memegang ajaran agama.
Sang ayah, Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan panggilan Haji Rasul dikenal sebagai tokoh pembaharuan islam di kalangan masyarakat Minangkabau. Karakter keislaman yang kuat dalam keluarga besarnya ini menjadi fondasi awal kepribadian Hamka dalam kiprahnya kelak saat dewasa.
Sejak remaja, Hamka telah memiliki ketertarikan yang besar dengan dunia sastra dan organisasi pergerakan. Kegemarannya dalam membaca telah mengembangkan wawasannya hingga diluar batas pemikiran generasi remaja seusianya ketika itu.
Hal ini pula yang membuatnya membulatkan tekad untuk merantau ke Jawa saat berusia 16 tahun, pada sekitar tahun 1924. Di Yogyakarta dan Bandung, ia aktif di sejumlah organisasi pergerakan antara lain Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyempatkan berguru kepada tokoh-tokoh pergerakan diantaranya HOS Cokroaminoto.
Meski hanya setahun, apa yang ia peroleh selama merantau banyak berpengaruh besar terhadap perjalanan hidupnya. Pada masa setelahnya, Hamka banyak berkontribusi dalam dakwah dan pergerakan melalui kontribusi tulisan-tulisannya yang sebagian diantaranya berakhir dengan pelarangan karena dianggap membahayakan pemerintah Hindia Belanda.
Setelah era kemerdekaan hingga akhir hidupnya, Hamka tetap aktif menulis di berbagai media, baik buletin, majalah, buku, roman, hingga tafsir Al-Quran. Dari sekitar 118 judul buku yang pernah ia tulis semasa hidupnya, sekitar 28 judul dapat kita saksikan diantara koleksi buku di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka ini.
Selain karya-karya Hamka, di museum ini pengunjung juga dapat melihat berbagai benda peninggalan dan dokumentasi perjalanan hidup Hamka. Diantara koleksi-koleksi penting museum ini adalah lukisan serta foto Hamka semasa muda hingga dewasa dan sejumlah penghargaan yang pernah diperolehnya semasa hidup.
Ada pula sebuah foto yang menggambarkan lautan manusia yang ikut mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir pada tanggal 24 Juli 1981. Selain itu, terdapat pula koleksi seperti jubah kehormatan beserta toga yang digunakan Hamka saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Al-Azhar Cairo serta Universitas Kebangsaan Malaysia.
Untuk mencapai daerah ini, dari Bukittinggi pengunjung harus melewati kawasan Kelok 44 (Kelok Ampek Puluh Ampek). Setelah melewati kawasan tersebut, kita akan bertemu sebuah persimpangan, dimana arah ke kiri adalah menuju museum sedangkan ke kanan adalah ke Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam.
Jarak dari persimpangan menuju ke museum kurang lebih sekitar 7 kilometer melalui jalur yang berkelok-kelok. Sepanjang perjalanan, kita dapat menikmati keindahan Danau Maninjau yang tepat tersaji di sebelah kanan kita.
Perjalanan ke Danau Maninjau rasanya tidak lengkap tanpa menyambangi rumah kelahiran seorang ulama besar asal Minangkabau, Buya Hamka. Rumah bersejarah ini berada di tepian danau, tepatnya di Kampung Muaro Pauh, Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Agam.
Lokasi yang kini difungsikan sebagai museum ini menjadi tempat penyimpanan benda-benda peninggalan tokoh yang juga dikenal sebagai sastrawan, jurnalis, ahli tafsir, sekaligus seorang politisi ini. Di sini pengunjung bisa meresapi semangat perjuangan yang pernah digemakan sang ulama nasionalis ini semasa hidupnya.
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal luas dengan nama Buya Hamka lahir pada hari Senin, 17 Februari 1908. Anak tertua dari tujuh bersaudara ini lahir di tengah keluarga yang kuat memegang ajaran agama.
Sang ayah, Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan panggilan Haji Rasul dikenal sebagai tokoh pembaharuan islam di kalangan masyarakat Minangkabau. Karakter keislaman yang kuat dalam keluarga besarnya ini menjadi fondasi awal kepribadian Hamka dalam kiprahnya kelak saat dewasa.
Sejak remaja, Hamka telah memiliki ketertarikan yang besar dengan dunia sastra dan organisasi pergerakan. Kegemarannya dalam membaca telah mengembangkan wawasannya hingga diluar batas pemikiran generasi remaja seusianya ketika itu.
Hal ini pula yang membuatnya membulatkan tekad untuk merantau ke Jawa saat berusia 16 tahun, pada sekitar tahun 1924. Di Yogyakarta dan Bandung, ia aktif di sejumlah organisasi pergerakan antara lain Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyempatkan berguru kepada tokoh-tokoh pergerakan diantaranya HOS Cokroaminoto.
Meski hanya setahun, apa yang ia peroleh selama merantau banyak berpengaruh besar terhadap perjalanan hidupnya. Pada masa setelahnya, Hamka banyak berkontribusi dalam dakwah dan pergerakan melalui kontribusi tulisan-tulisannya yang sebagian diantaranya berakhir dengan pelarangan karena dianggap membahayakan pemerintah Hindia Belanda.
Setelah era kemerdekaan hingga akhir hidupnya, Hamka tetap aktif menulis di berbagai media, baik buletin, majalah, buku, roman, hingga tafsir Al-Quran. Dari sekitar 118 judul buku yang pernah ia tulis semasa hidupnya, sekitar 28 judul dapat kita saksikan diantara koleksi buku di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka ini.
Selain karya-karya Hamka, di museum ini pengunjung juga dapat melihat berbagai benda peninggalan dan dokumentasi perjalanan hidup Hamka. Diantara koleksi-koleksi penting museum ini adalah lukisan serta foto Hamka semasa muda hingga dewasa dan sejumlah penghargaan yang pernah diperolehnya semasa hidup.
Ada pula sebuah foto yang menggambarkan lautan manusia yang ikut mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir pada tanggal 24 Juli 1981. Selain itu, terdapat pula koleksi seperti jubah kehormatan beserta toga yang digunakan Hamka saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Al-Azhar Cairo serta Universitas Kebangsaan Malaysia.
Untuk mencapai daerah ini, dari Bukittinggi pengunjung harus melewati kawasan Kelok 44 (Kelok Ampek Puluh Ampek). Setelah melewati kawasan tersebut, kita akan bertemu sebuah persimpangan, dimana arah ke kiri adalah menuju museum sedangkan ke kanan adalah ke Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam.
Jarak dari persimpangan menuju ke museum kurang lebih sekitar 7 kilometer melalui jalur yang berkelok-kelok. Sepanjang perjalanan, kita dapat menikmati keindahan Danau Maninjau yang tepat tersaji di sebelah kanan kita.